HAPPY OUR 1ST ANNIVERSARY, ANNA.
SATU TAHUN BUKAN LAH WAKTU YANG SINGKAT BUAT
KITA. AKU BAHAGIA TELAH MENGENAL SESOSOK BIDADARI NAN INAH YANG DI TURUNKAN
TUHAN UNTUKKU. SATU TAHUN KITA TELAH MENJALIN HUBUNGAN YANG LEBIH DARI KATA
TEMAN. AKU BAHAGIA KEBERSAMAAN KITA BISA BERJALAN SELAMA INI. AKU HARAP, KITA
AKAN MENJADI KITA UNTUK WAKTU YANG LEBIH LAMA.
I LOVE YOU MY PRETTY ANGEL. I WILL ALWAYS
LOVE YOU.
Pesan ini darinya. Dimas, kekasihku. Ya,hari ini memang
hari yang seharusnya menjadi hari yang paling membahagiakan bagi pasangan
remaja seusiaku. Orang-orang menyebutnya Anniversary. Hari ini tepat 1 tahun
sudah kami menjadi penyemangat belajar satu sama lain.
Tapi, sampai saat ini, aku masih belum yakin dengan apa
yang ada di hatiku. Terkadang aku merasa bahagia berada di dekatnya, dan bahkan
tak jarang aku merasa bahwa dia bukan siapa siapa bagiku. Ya, perasaan itu
hanya sebatas bahagia. Tidak lebih. Bahkan sering kurang dari itu. Aku bingung
kenapa aku tidak pernah merasa “nyaman” seperti yang dikatakan temanku ketika
mereka sedang berpacraran.
Nyaman? Apa itu? Aku belum pernah sekalipun merasa nyaman
ketika berada didekatnya. Aku hanya merasa senang ketika berada didekatnya. Tapi...
Ah, sudahlah. Memikirkan hal itu tengah malam seperti ini membuatku pusing.
HAPPY 1ST ANNIVERSARY TOO, DEAR
AMIN. SEMOGA SELAMANYA YA SAYANG, DAN AKU
HARAP KAU SELALU DISAMPINGKU.
LOVE YOU TOO DEAR.
Huhh, apa sih yang ada di fikiranku. Kenapa aku selalu saja
tidak yakin dengan perasaanku sendiri? Aku kembali termenung, hanya termenung. Mataku
menatap langit malam yang cukup cerah, ada beberapa bintang yang berkelap-kelip
disana.
“Anna,
kau masih bangun? Masuklah kekamar mu, cuci muka, lalu tidur. Ini sudah larut
malam sayang”. Suara lembutnya menyadarkan lamunanku. Mama. Yap, ini sudah
pukul 1 dini hari. Mama baru saja pulang dari kantornya. Sedangkan Papa, dia
hanya pulang sebulan sekali karena ia ditempatkan di pulau seberang. Aku? Hanya
bertemankan Bi Minah dan Pak Bagus dirumah. Aku saja sering berfikir kalau aku
tak lagi punya keluarga. Aku memang anak tunggal, yang sering di tinggal
sendiri demi alasan kerja. Bingung. Terkadang aku bingung, apa sih yang mereka
kerjakan sampai larut begini? Ah, ntahlah, bukan urusanku.
---
“Bi,
Mama mana?”
“Eh,
non Anna. Ibuk sudah pergi dari tadi subuh non. Ayo non, sarapan dulu sambil
Pak Bagus siapin mobil”. Segelas susu dan sebuah roti sudah tersaji di meja
makan. Uhh! Lagi-lagi begini!
“Makasih
deh bi, aku langsung berangkat aja. Dah, bi!”
---
“Hallo
sayang. Kok cemberut sih? Senyum dong. Ini kan hari bahagia kita” sapa hangat
Dimas
“Hai,
iyadeeehhh. Nih senyuman ku buat mu” senyum lebar pun mengambang di bibirku
“ Nah
gitu dongg. Eh, aku punya sesuatu nih buat kamu. Taraaaaa!” seketika mataku
melebar. Sebuah boneka beruang yang aku inginkan sekarang berada di tanganku. Tapii,
kenapa aku tidak sebahagia biasanya? Ah sudahlah, nikmati saja hari ini dulu.
Sebenarnya ada apa sih denganku. Kenapa perasaanku padanya
mudah saja berubah? Padahal aku bukan termasuk orang yang moodnya mudah
berubah. Tapi, kenapa aku tidak pernah merasakan yang dinamakan cinta? Kalau memang
aku tidak mencintainya, lalu kenapa tepat setahun yang lalu aku menerima
perasaannya? Kenapa dengan mudahnya aku bisa menjadi kekasihnya, padahal aku
tidak memiliki perasaan apapun terhadapnya?
Oh tuhan! Kenapa ini bisa terjadi sama aku?! Apa jangan
jangan aku memang tidak mencintainya? Apa jangan-jangan aku hanya menjadikannya
sebagai pelampiasan kesepian ku? Apa aku menerima cintanya hanya karena aku
merasa kesepian? Tidak! Ini seharusnya tidak terjadi! Aku jahat! Aku telah
memainkan perasaan orang yang benar-benar tulus mencintaiku. Tapi aku? Aku hanya
menjadikannya alat. Apa yang harus aku lakukan sekarang?
---
“Hey!
Anna. Kamu kenapa? Ada yang salah?” hanya gelenganku yang bisa menjawab
pertanyaan Vina. Sahabat baikku.
“Ayolah
anna, cerita saja padaku, apa yang sebenarnya terjadi? Apa ada masalah dengan
Dimas?” lagi-lagi aku hanya menggeleng
“Apa
kamu putus dengan dia?” kini Vina semakin penasaran denganku
“Ah!
Udahlah Vin, ini bukan urusanmu. Dan tidak semua hal yang aku alami bisa aku
ceritakan padamu!” tanpa sadar aku berdiri dan meninggalkan Vina yang bingung
dengan tingkahku.
Apa yang aku lakukan? Aku baru saja membentak sahabat
baikku. Sahabat yang selalu ada di dekatku. Sahabat yang selalu mengerti aku. Kenapa
aku ini? Aku menjadi egois dan tidak terkendali! Tidak! Kalau begini terus akan
lebih banyak hati yang akan aku sakiti. Aku harus menyelesaikan semua
permasalahan ini. Dari akarnya. Ya, akar permasalahan ini adalah hubunganku
dengan Dimas. Aku harus jujur dengan Dimas. Aku harus bentemu dengannya.
Janjian bertemu dengan Dimas di salah satu cafe favorite kami
untuk membicarakan hal ini –yang sesungguhnya adalah kesalahanku, memang cukup
berat. Aku tak sampai hati sebenarnya untuk menyakitinya lagi. Cukup sudah aku aku
membohongi diriku sendiri. Cukup sudah aku menghianati perasaannya. Aku tak mau
menyakitinya lebih dalam lagi. Aku tak sanggup.
“Hallo
sayang”
“Hai...”
“Ada
apa nih? Kok tumben kamu yang ngajak ketemuan?” tanyanya penasaran
“Hmm,
Mass...” belum sempat ku katakan niat jujurku, dia sudah memotong
pembicaraanku.
“Eitss,
tunggu dulu, biar aku tebak. Kamu rindu kan sama aku? Hayooo. Aduh anna, kalau
kamu rindu sama aku, ngapain kita harus ketemuan disini? Kenapa gak kamu telfon
aku, biar kita ketemuan dirumah kamu aja?”
“Hmm,
Mass. Sebenarnyaa, aku ingin bertanya jujur padamu.”
“Apa
itu sayang?”
“Hmm..
tidak kah kamu merasakan sesuatu yang janggal pada hubungan kita?”
“Ha?
Maksud kamu apa?”
“Hmm..
maaf Mas.. maaafff banget. Bukannya aku bermaksud untuk melakukan ini. Tapi jujur,
sejak awal aku menerima kamu menjadi pacar aku, aku mulai bingung dengan
perasaan aku sendiri. Aku merasa kalau, aku tidak benar-benar memiliki perasaan
yang sama dengan mu.”
“Ha?
Maksudmu?”
“Aku
gak mau berpura-pura lagi dengan perasaan ini. Akhir-akhir ini aku sadar dengan
perasaanku. Aku merasa kalau aku sebenarnya memang tidak mencintaimu. Aku merasa
kalau aku hanya menjadikanmu sebagai alat agar aku tidak merasa sendiri. Aku sayang
sama kamu, tapi aku gak berhak menjadikan kamu alat biar aku tidak merasa
sendiri. Aku harap kamu mengerti maksud ku.”
“Ha?
Ta.. tapi na, aku mencintaimu tulus. Tulus dari dasar lubuk hatiku. Aku gak
perduli kamu hanya menjadikan ku sebagai alat. Aku gak perduli, na. Aku percaya
kalau perasaan seseorang dapat berubah. Dan aku akan berusaha buat bikin kamu
memliki persaan yang sama terhadap ku. Aku janji na.”
“Tapi,
Mass. Aku gak sanggup buat nyakitin kamu lebih dari ini. Cukup sudah setahun
buak ku sadar akan perasaan ku yang sesungguhnya Mass. Aku.. aku mau kita
selesai disini Mass. Aku gak mau kamu terkang sama aku yang gak bisa membalas
perasaanmu dengan tulus. Aku yakin banyak orang diluar sana yang bisa
menyayangimu lebih dari aku. Aku merasa gak pantas untuk memiliki orang sebaik
dan sesempurna kamu”.
Tak terasa air mataku jatuh dengan sendirinya. Ntah air
mata apa itu. Mungkin aku sedih harus melepas seseorang yang aku miliki, tapi
ini untuk kebaikannya dan orang banyak.
“Maafin
aku Mass... . maafin aku yang selama ini jahat sama kamu. Aku harap kamu bisa
mengerti perasaanku. Aku sayang kamu Mass. Sangat amat menyayangimu. Maafin aku”
“Kalau
itu memang keputusanmu, aku hargai itu na. Tapi aku harap ini bukanlah akhir
dari pertemanan kita. Tapi aku harap ini adalah awal pertemanan kita yang baru
dan yang lebih baik.”
“Terimaksih,
Mass.”
---
Menjalin hubungan yang lebih erat dengan lawan jenis bisa
saja menjadi cinta. Tapi sebuah cinta yang tidak dilandasi dengan cinta yang
tulus, apa bisa menjadi cinta yang murni. Hubungan itu adalah sebuah ikatan
yang menyatukan dua insan yang memiliki perasaan yang sama kuatnya. Namun jika
hanya satu pihak yang memberikan rasa cinta, apakah hubungan tetap bisa
terjalin? Ntahlah, mungkin hanya waktu yang dapat menjawab.
Ditulis untuk #WhatIfLove by @aMrazing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar