Jumat, 04 Juli 2014

Is It Love? Who Knows.



HAPPY OUR 1ST ANNIVERSARY, ANNA.
SATU TAHUN BUKAN LAH WAKTU YANG SINGKAT BUAT KITA. AKU BAHAGIA TELAH MENGENAL SESOSOK BIDADARI NAN INAH YANG DI TURUNKAN TUHAN UNTUKKU. SATU TAHUN KITA TELAH MENJALIN HUBUNGAN YANG LEBIH DARI KATA TEMAN. AKU BAHAGIA KEBERSAMAAN KITA BISA BERJALAN SELAMA INI. AKU HARAP, KITA AKAN MENJADI KITA UNTUK WAKTU YANG LEBIH LAMA.
I LOVE YOU MY PRETTY ANGEL. I WILL ALWAYS LOVE YOU.

Pesan ini darinya. Dimas, kekasihku. Ya,hari ini memang hari yang seharusnya menjadi hari yang paling membahagiakan bagi pasangan remaja seusiaku. Orang-orang menyebutnya Anniversary. Hari ini tepat 1 tahun sudah kami menjadi penyemangat belajar satu sama lain.
Tapi, sampai saat ini, aku masih belum yakin dengan apa yang ada di hatiku. Terkadang aku merasa bahagia berada di dekatnya, dan bahkan tak jarang aku merasa bahwa dia bukan siapa siapa bagiku. Ya, perasaan itu hanya sebatas bahagia. Tidak lebih. Bahkan sering kurang dari itu. Aku bingung kenapa aku tidak pernah merasa “nyaman” seperti yang dikatakan temanku ketika mereka sedang berpacraran.
Nyaman? Apa itu? Aku belum pernah sekalipun merasa nyaman ketika berada didekatnya. Aku hanya merasa senang ketika berada didekatnya. Tapi... Ah, sudahlah. Memikirkan hal itu tengah malam seperti ini membuatku pusing.

HAPPY 1ST ANNIVERSARY TOO, DEAR
AMIN. SEMOGA SELAMANYA YA SAYANG, DAN AKU HARAP KAU SELALU DISAMPINGKU.
LOVE YOU TOO DEAR.

Huhh, apa sih yang ada di fikiranku. Kenapa aku selalu saja tidak yakin dengan perasaanku sendiri? Aku kembali termenung, hanya termenung. Mataku menatap langit malam yang cukup cerah, ada beberapa bintang yang berkelap-kelip disana. 

“Anna, kau masih bangun? Masuklah kekamar mu, cuci muka, lalu tidur. Ini sudah larut malam sayang”. Suara lembutnya menyadarkan lamunanku. Mama. Yap, ini sudah pukul 1 dini hari. Mama baru saja pulang dari kantornya. Sedangkan Papa, dia hanya pulang sebulan sekali karena ia ditempatkan di pulau seberang. Aku? Hanya bertemankan Bi Minah dan Pak Bagus dirumah. Aku saja sering berfikir kalau aku tak lagi punya keluarga. Aku memang anak tunggal, yang sering di tinggal sendiri demi alasan kerja. Bingung. Terkadang aku bingung, apa sih yang mereka kerjakan sampai larut begini? Ah, ntahlah, bukan urusanku.

---

“Bi, Mama mana?”
“Eh, non Anna. Ibuk sudah pergi dari tadi subuh non. Ayo non, sarapan dulu sambil Pak Bagus siapin mobil”. Segelas susu dan sebuah roti sudah tersaji di meja makan. Uhh! Lagi-lagi begini!
“Makasih deh bi, aku langsung berangkat aja. Dah, bi!”

---

“Hallo sayang. Kok cemberut sih? Senyum dong. Ini kan hari bahagia kita” sapa hangat Dimas
“Hai, iyadeeehhh. Nih senyuman ku buat mu” senyum lebar pun mengambang di bibirku
“ Nah gitu dongg. Eh, aku punya sesuatu nih buat kamu. Taraaaaa!” seketika mataku melebar. Sebuah boneka beruang yang aku inginkan sekarang berada di tanganku. Tapii, kenapa aku tidak sebahagia biasanya? Ah sudahlah, nikmati saja hari ini dulu.

Sebenarnya ada apa sih denganku. Kenapa perasaanku padanya mudah saja berubah? Padahal aku bukan termasuk orang yang moodnya mudah berubah. Tapi, kenapa aku tidak pernah merasakan yang dinamakan cinta? Kalau memang aku tidak mencintainya, lalu kenapa tepat setahun yang lalu aku menerima perasaannya? Kenapa dengan mudahnya aku bisa menjadi kekasihnya, padahal aku tidak memiliki perasaan apapun terhadapnya?

Oh tuhan! Kenapa ini bisa terjadi sama aku?! Apa jangan jangan aku memang tidak mencintainya? Apa jangan-jangan aku hanya menjadikannya sebagai pelampiasan kesepian ku? Apa aku menerima cintanya hanya karena aku merasa kesepian? Tidak! Ini seharusnya tidak terjadi! Aku jahat! Aku telah memainkan perasaan orang yang benar-benar tulus mencintaiku. Tapi aku? Aku hanya menjadikannya alat. Apa yang harus aku lakukan sekarang?

---

“Hey! Anna. Kamu kenapa? Ada yang salah?” hanya gelenganku yang bisa menjawab pertanyaan Vina. Sahabat baikku.
“Ayolah anna, cerita saja padaku, apa yang sebenarnya terjadi? Apa ada masalah dengan Dimas?” lagi-lagi aku hanya menggeleng
“Apa kamu putus dengan dia?” kini Vina semakin penasaran denganku
“Ah! Udahlah Vin, ini bukan urusanmu. Dan tidak semua hal yang aku alami bisa aku ceritakan padamu!” tanpa sadar aku berdiri dan meninggalkan Vina yang bingung dengan tingkahku.
Apa yang aku lakukan? Aku baru saja membentak sahabat baikku. Sahabat yang selalu ada di dekatku. Sahabat yang selalu mengerti aku. Kenapa aku ini? Aku menjadi egois dan tidak terkendali! Tidak! Kalau begini terus akan lebih banyak hati yang akan aku sakiti. Aku harus menyelesaikan semua permasalahan ini. Dari akarnya. Ya, akar permasalahan ini adalah hubunganku dengan Dimas. Aku harus jujur dengan Dimas. Aku harus bentemu dengannya.

Janjian bertemu dengan Dimas di salah satu cafe favorite kami untuk membicarakan hal ini –yang sesungguhnya adalah kesalahanku, memang cukup berat. Aku tak sampai hati sebenarnya untuk menyakitinya lagi. Cukup sudah aku aku membohongi diriku sendiri. Cukup sudah aku menghianati perasaannya. Aku tak mau menyakitinya lebih dalam lagi. Aku tak sanggup.

“Hallo sayang”
“Hai...”
“Ada apa nih? Kok tumben kamu yang ngajak ketemuan?” tanyanya penasaran
“Hmm, Mass...” belum sempat ku katakan niat jujurku, dia sudah memotong pembicaraanku.
“Eitss, tunggu dulu, biar aku tebak. Kamu rindu kan sama aku? Hayooo. Aduh anna, kalau kamu rindu sama aku, ngapain kita harus ketemuan disini? Kenapa gak kamu telfon aku, biar kita ketemuan dirumah kamu aja?”
“Hmm, Mass. Sebenarnyaa, aku ingin bertanya jujur padamu.”
“Apa itu sayang?”
“Hmm.. tidak kah kamu merasakan sesuatu yang janggal pada hubungan kita?”
“Ha? Maksud kamu apa?”
“Hmm.. maaf Mas.. maaafff banget. Bukannya aku bermaksud untuk melakukan ini. Tapi jujur, sejak awal aku menerima kamu menjadi pacar aku, aku mulai bingung dengan perasaan aku sendiri. Aku merasa kalau, aku tidak benar-benar memiliki perasaan yang sama dengan mu.”
“Ha? Maksudmu?”
“Aku gak mau berpura-pura lagi dengan perasaan ini. Akhir-akhir ini aku sadar dengan perasaanku. Aku merasa kalau aku sebenarnya memang tidak mencintaimu. Aku merasa kalau aku hanya menjadikanmu sebagai alat agar aku tidak merasa sendiri. Aku sayang sama kamu, tapi aku gak berhak menjadikan kamu alat biar aku tidak merasa sendiri. Aku harap kamu mengerti maksud ku.”
“Ha? Ta.. tapi na, aku mencintaimu tulus. Tulus dari dasar lubuk hatiku. Aku gak perduli kamu hanya menjadikan ku sebagai alat. Aku gak perduli, na. Aku percaya kalau perasaan seseorang dapat berubah. Dan aku akan berusaha buat bikin kamu memliki persaan yang sama terhadap ku. Aku janji na.”
“Tapi, Mass. Aku gak sanggup buat nyakitin kamu lebih dari ini. Cukup sudah setahun buak ku sadar akan perasaan ku yang sesungguhnya Mass. Aku.. aku mau kita selesai disini Mass. Aku gak mau kamu terkang sama aku yang gak bisa membalas perasaanmu dengan tulus. Aku yakin banyak orang diluar sana yang bisa menyayangimu lebih dari aku. Aku merasa gak pantas untuk memiliki orang sebaik dan sesempurna kamu”.
Tak terasa air mataku jatuh dengan sendirinya. Ntah air mata apa itu. Mungkin aku sedih harus melepas seseorang yang aku miliki, tapi ini untuk kebaikannya dan orang banyak.
“Maafin aku Mass... . maafin aku yang selama ini jahat sama kamu. Aku harap kamu bisa mengerti perasaanku. Aku sayang kamu Mass. Sangat amat menyayangimu. Maafin aku”
“Kalau itu memang keputusanmu, aku hargai itu na. Tapi aku harap ini bukanlah akhir dari pertemanan kita. Tapi aku harap ini adalah awal pertemanan kita yang baru dan yang lebih baik.”
“Terimaksih, Mass.”

---

Menjalin hubungan yang lebih erat dengan lawan jenis bisa saja menjadi cinta. Tapi sebuah cinta yang tidak dilandasi dengan cinta yang tulus, apa bisa menjadi cinta yang murni. Hubungan itu adalah sebuah ikatan yang menyatukan dua insan yang memiliki perasaan yang sama kuatnya. Namun jika hanya satu pihak yang memberikan rasa cinta, apakah hubungan tetap bisa terjalin? Ntahlah, mungkin hanya waktu yang dapat menjawab.

Ditulis untuk #WhatIfLove by @aMrazing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar